Aksara yang mengalir begitu saja – mbuh lah..

Waiting on the World to Change

Jalan Samurai Yukio Mishima

with 5 comments

Beberapa orang dapat mendengar dengan jelas bisikan lirih dari dalam hatinya, dan mereka mengikutinya. Sebagian dari mereka berakhir sebagai orang gila, dan sebagian yang lain menjadi legenda ..

 

(Legend of the Falls)

 

yukio_mishima_san_sebastianthumbnail.jpg

(Catatan penulis: Ini adalah kisah nyata yang dipenuhi darah dan kekerasan, tanpa stilisasi atau penghalusan verbal. Bagi Anda yang tidak menyukai tema-tema semacam ini atau memiliki ambang toleransi yang rendah atas deskripsi kekerasan secara eksplisit, saya menyarankan untuk tidak membacanya karena mungkin akan membekaskan perasaan yang tidak enak)

25 November 1970. Ritual Seppuku, satu tradisi lama para samurai yang telah dilupakan terulang dengan cara yang menggegerkan seluruh Jepang. Pelakunya selebriti eksentrik yang menurut pandangan awam – termasuk Perdana Menteri Eisaku Sato – telah kerasukan kichigai alias sinting. Dalam pandangan politisi, mereka tengah membuat sebuah pernyataan politik. Ahli kejiwaan memandang kalau itu sebuah upaya pencapaian erotisme yang paripurna dari sepasang homoseks yang memadu kasih dengan cara tak lazim. Para sastrawan memandang tindakan itu sebagai manifestasi riil penyatuan diri seorang pengarang dengan karyanya. Apapun analisisnya, hal tersebut menunjukkan bahwa tidaklah mudah memahami secara utuh sosok Mishima dengan segenap gerak langkahnya.

Yukio Mishima adalah fiksi. Mungkin itulah bekal pengertian awal yang perlu kita bawa sebelum mencoba memahaminya lebih jauh. Yukio Mishima hanyalah sebuah nama pena yang tercantum pada novel-novel seperti Kinkaku-ji (The Temple of the Golden Pavilion), Kamen no Kokuhaku (Confession of a Mask), atau Hagakure Nyumon (Way of the Samurai). Nama asli penulis novel-novel tersebut adalah Kimitake Hiraoka.

180px-yukio_mishima_1931.gifKimitake lahir di Distrik Yotsuya (kini Shinjuku), Tokyo, pada 14 Januari 1925 sebagai putra pasangan Azusa Hiraoka dan Shizue. Namun masa kecil Kimitake didominasi pengaruh kuat neneknya, Natsu, yang mengasuhnya hingga umur 12 tahun. Natsu memiliki perangai yang kurang lumrah, cenderung sadistik dan terkadang suka ‘kumat’ (morbid outburst (?)). Karakter abnormal semacam ini acapkali muncul dalam tulisan-tulisan Mishima. Sang nenek juga diketahui selalu melarang Kimitake keluar rumah, bermain, atau bergaul dengan anak laki-laki lain. Ini membuat Kimitake kecil lebih banyak menghabiskan waktu seorang diri, atau bermain boneka dengan sepupu perempuannya. Lepas dari asuhan neneknya, Kimitake kembali ke rumah orangtuanya, dan kali ini mesti menghadapi pola asuhan bergaya disiplin militer dari ayahnya yang juga keras.

mishima_highschool.gif

Pada usia 12 itu pula Kimitake masuk ke sekolah elit Peers school. Enam tahun bersekolah di sana, Kimitake diterima sebagai anggota termuda dewan editorial pada komunitas kesusastraan di sekolah tersebut. Karya tulis pertamanya adalah cerpen berjudul Hanazakari No Mori (The Forest in Full Bloom), sebuah cerpen dengan gaya tuturan penuh metafor dan aforisme, di mana sang narator merasakan satu penyatuan diri dengan arwah nenek moyangnya. Gurunya begitu terkesan dengan cerita itu sehingga merekomendasikannya untuk dimuat ke majalah sastra bergengsi Bungei-Bunka. Tahun 1944 naskah tersebut diterbitkan sebagai buku. Untuk menghindari gelombang kedengkian kawan-kawan sekolahnya, sang guru memberi Kimitake sebuah nama samaran. Maka lahirlah Yukio Mishima.

Pada Januari 1946 Mishima mengunjungi Kawabata Yasunari di kediamannya di Kamakura dengan membawa naskah Chusei dan Tabako, sembari memohon bimbingan pada sastrawan besar itu. Atas rekomendasi Kawabata naskah Tabako diterbitkan di majalah sastra Ningen.

Lulus dari kampus bergengsi Universitas Tokyo pada 1947, Mishima bekerja di kementrian keuangan Jepang. Sebuah karir yang menjanjikan masa depan. Namun begitu, nampaknya Mishima bekerja di tempat tersebut sekadar untuk menyenangkan ayahnya yang kurang menyukai aktivitas kepenulisannya. Hanya setahun bekerja di sana, Mishima mencari-cari alasan sedemikian rupa sehingga sang ayah terpaksa menyetujui pengunduran dirinya dari pekerjaan tetap tersebut untuk ‘membaktikan’ hidup sepenuhnya sebagai pengarang.

Awal ketenaran Mishima (sekaligus bisik-bisik tentang orientasi seksualnya) dimulai saat novel semi autobiografinya Kamen no Kokuhaku (Confession of a Mask) laris manis di pasaran. Novel tersebut berkisah tentang seorang anak muda gay yang terpaksa harus hidup dengan mengenakan ‘topeng’ heteroseksual agar diterima masyarakat. Mishima tidak hanya mejadi bintang di negerinya sendiri, tetapi juga di dunia internasional di mana karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Selain menulis novel, cerpen, dan esai sastra, Mishima juga menekuni seni teater Kabuki dan versi modern dari drama tradisional Jepang No.

mishima.jpeg

Naluri selebriti Mishima nampaknya sebuah bakat alam. Novel-novel kontemporer dan segenap aktivitasnya menjadi sisi menarik kehidupan sosial Jepang masa itu, selain kisah kehidupan pribadinya sendiri yang memang ‘layak’ buat bahan gunjingan. Novel Kinkaku-ji (The Temple of Golden Pavilion) adalah imajinasinya tentang pembakaran sebuah kuil terkenal di kota Kyoto oleh seorang anak yang ingin melindungi kesucian kuil itu. Novel Utage no Ato (After the Banquet) membuatnya dituntut atas pelanggaran privasi karena jalan ceritanya sangat mirip dengan kehidupan pribadi Arita Hachiro, politisi yang tengah berkampanye untuk jabatan gubernur Tokyo. Mishima sempat diisukan dekat dengan Michiko Soda (kini permaisuri Kaisar Akihito) dan beberapa wanita lain termasuk seorang politisi wanita terkemuka yang sempat diajaknya menikah, sebelum akhrnya menikahi Yoko Sugiyama pada 11 Juni 1958 dan memiliki dua anak. Namun pada saat yang sama Mishima juga dikenal sebagai pengunjung bar kaum gay di Tokyo dan berhubungan “cukup dekat” dengan komandan Tatenokai (organisasi tentara swasta yang dibentuk dan dipimpinnya) bernama Masakatsu Morita. Morita inilah yang menemani kematiannya dalam aksi Seppuku di Markas Pasukan Beladiri Jepang.

Mishima gemar menjaga kebugaran tubuhnya dengan rutin berlatih angkat beban sejak tahun 1955. Ketekunannya berlatih kendo (seni pedang) membuatnya sangat mahir dalam olahraga ini, selain menambahi embel-embelnya sebagai sang penulis-pendekar samurai (the samurai writer).

Mishima tiga kali dinominasikan sebagai pemenang hadiah Nobel kesusastraan, dan menjadi dambaan banyak penerbit buku di luar negeri. Namun begitu Dia menyadari kesempatannya meraih penghargaan prestisius tersebut menipis saat Kawabata Yasunari, sang mentor, telah lebih dahulu meraihnya pada 1968.

Kronologi prosesi Seppuku Mishima dan Morita

Pagi, 25 November 1970. Yukio Mishima sibuk mempersiapkan diri untuk menjadi ‘lakon’ sebuah pertunjukan besar. Dia mengenakan fundoshi (cawat tradisional) berwarna putih, kemudian memakai seragam militer Tatenokai. Sebilah samurai panjang, yoroidoshi (pedang pendek), setumpuk kertas selebaran gekibun, dan bagian terakhir naskah tetralogi Lautan Kesuburan (The Sea of Fertility) dalam amplop tebal yang baru selesai dikerjakannya setelah enam tahun turut dibawa serta. Mishima juga menelepon beberapa wartawan kenalannya untuk tidak melewatkan sebuah “pertunjukan”, tanpa menjelaskan apa pertunjukan yang dimaksud.

Tak lama setelah semua persiapan matang, Mishima beserta rombongan pergi menuju Pangkalan Ichigaya, Markas Besar Japan’s Self-Defence Force atau pasukan beladiri Jepang. Rombongan yang mengendarai sedan Toyota Corolla putih itu terdiri atas Mishima sendiri, komandan Tatenokai Masakatsu Morita, dan tiga anggota Tatenokai yakni Chibi-Koga, Hiroyashu Koga, dan Ogawa. Mobil dikemudikan oleh Chibi Koga. Mishima duduk di sebelahnya.

Sebelum pukul 11 mereka telah tiba di Pangkalan Ichigaya. Penjaga gerbang yang telah diberitahu rencana kedatangan mereka – namun tidak tahu maksud sebenarnya – membiarkan mereka lewat. Mobil tersebut lantas melaju bebas di dalam kompleks menuju kantor komandan pangkalan. Tak lama kemudian Mayor Sawamoto, ajudan komandan pangkalan, mempersilakan mereka untuk masuk dan bertemu langsung dengan komandan pangkalan itu, Jenderal Mashita.

Mishima memperkenalkan satu per satu anggota Tatenokai kepada Mashita. Sebelum duduk, Mishima melepaskan samurai di pinggangnya dan diletakkannya di kursi. Kepada Mashita dia menjelaskan bahwa samurai itu buatan abad 17, yang dibuktikan dengan selembar kekunan (sertifikat). Mashita mengelap samurai itu dengan tisu kertas, mengayun-ayunkannya sembari memuji keindahan pedang itu, lalu memberikannya kembali pada Mishima. Bersamaan dengan itu, Mishima memberi kode pada Chibi-Koga lewat isyarat mata. Chibi-Koga berdiri dan mencekik leher sang jenderal dari belakang. Keempat anak buah Mishima yang lain dengan cekatan mengeluarkan tali dari saku mereka untuk mengikat kaki dan tangan Mashita, lalu menarik meja tulis buat mengganjal pintu masuk.

Suasana pangkalan berubah kacau-balau ketika para tentara menyadari aksi penyanderaan komandan mereka. Mereka mencoba menorobos masuk namun dihalang-halangi oleh Mishima dan anak buahnya. Tiga orang perwira terluka tangan dan punggungnya terkena sabetan samurai dan harus digotong keluar. Mereka lantas memilih mundur untuk menjaga keselamatan Mashita, dan wakil komandan pangkalan menelepon polisi untuk menangkap Mishima. Mishima lantas menuntut agar seluruh penghuni pangkalan berkumpul di lapangan parade untuk mendengarkan pidatonya.

Menjelang tengah hari, Morita dan Ogawa muncul di beranda sembari memancangkan bendera putih panjang berisi syarat-syarat untuk keselamatan Mashita. Mereka juga menjatuhkan selebaran gekibun atau manifesto dari Mishima. Isi manifesto itu meniru pernyataan para pelaku kudeta militer tahun 1930:

Marilah kita kembalikan Jepang ke bentuk murninya dan biarkan kami mati. Apakah kalian akan menghargai hidup dan membiarkan semangat kebangsaan mati? Kami akan menunjukkan suatu nilai tinggi yang jauh lebih mulia ketimbang penghormatan pada kehidupan. Bukan kebebasan. Bukan demokrasi. Hanya Nippon, Nippon, tanah air sejarah dan tradisi. Jepang yang kita cintai.”

mishima701125.jpg

Tepat pukul 12 Mishima muncul di balkon jendela ruangan Mashita dan mulai berpidato. Walau dicemooh dan suaranya tak terdengar karena ditelan raungan helikopter militer yang berputar-putar, dia tetap melanjutkan pidatonya. Mishima berbicara panjang lebar tentang nasionalisme, harus kembalinya tentara ke kancah politik, restorasi dan perubahan konstitusi Jepang. Di akhir pidato Morita datang mendekat, lalu mereka berbareng meneriakkan Tenno Haika Banzai! (Hidup Kaisar!) tiga kali.

Keduanya masuk kembali ke dalam ruangan. Mishima membuka seragam militernya hingga tinggal mengenakan fundoshi, lalu berlutut di atas karpet merah. Setelah beberapa kali menarik napas, ia mengambil yoroidoshi – pedang pendek bermata dua dengan ujung yang tajam – yang kemudian ditusukkannya dalam-dalam ke salah satu titik di perut bagian kiri. Sekejap mukanya memutih dan tangannya gemetar. Dengan sisa-sisa tenaganya dicabutnya kembali yoroidoshi itu, lalu dibuatnya sayatan-sayatan mendatar di perut. Darah yang mengucur deras dari luka itu menggenangi karpet dan membasahi fundoshi yang dikenakannya.

Morita yang telah siap di belakangnya segera mengayunkan samurai ke leher Mishima. Nampaknya dia gugup. Samurai itu meleset dan menghantam karpet. Diulanginya sekali lagi, namun kali ini justru mengenai punggung sehingga meninggalkan luka yang dalam dan mengerikan. Hiroyashu Koga yang lebih berpengalaman dalam kendo lantas mengambil alih. Dengan sekali tebas dia memenggal kepala Mishima.

m_head.jpg

‘Selesai’ dengan Mishima, kini giliran Morita. Dia melepas jaket dan celana panjangnya, lantas mengulangi prosesi serupa. Kali ini tidak banyak kesulitan. Hiroyashu Koga memenggal kepala Morita dengan sekali tebasan samurai. Tak lama kemudian polisi berhasil masuk untuk menyelamatkan Mashita dan menangkap ketiga anak buah Mishima, yang menyerahkan diri tanpa perlawanan.

***

Setelah semua berakhir

Berdasarkan penyelidikan pasca kejadian diketahui secara jelas bahwa prosesi Seppuku itu telah dipersiapkan secara matang setidaknya sejak setahun sebelumnya. Tidak ada pihak luar yang mengetahui rencana tersebut selain beberapa anggota inti Tatenokai. Mishima bahkan telah mempersiapkan sejumlah besar uang untuk membayar pengacara bagi ketiga anak buahnya yang ditangkap polisi.

Penulis biografi, penterjemah, dan sahabat Mishima, John Nathan, memperkuat pendapat bahwa pidato politik dan manifesto Mishima hanyalah dalih belaka untuk menutupi motif yang lain. Menurutnya, Mishima memang telah lama memimpikan ritual bunuh diri tersebut. Dalam naskah keempat tetralogi Lautan Kesuburan yang berjudul The Decay of the Angel (Membusuknya sang Malaikat), terdapat karakter utama bernama Honda yang menyesali dirinya karena tak kuasa mengehentikan waktu, sehingga tak dapat menikmati keindahan fisik yang abadi. Satu-satunya cara memenangkan ‘pertandingan’ melawan waktu adalah dengan mendahului menghancurkan diri sendiri sebelum sang waktu menghancurkannya pelan-pelan.

Teori lain yang berangkat dari titik tolak psikoanalisis mengatakan bahwa tindakan bunuh diri bersama itu merupakan ekses dari kecenderungan homoseksualitasnya. Sudah menjadi rahasia umum di Jepang pada masa itu kalau Mishima dan Morita menjalin hubungan istimewa, lebih dari sekadar ‘sahabat’.

Melakukan shinju (bunuh diri ganda) adalah seakan bukti cinta dan kesetiaan yang paling dalam, namun pada dasarnya hanya topeng bagi egoisme individual Mishima. Freud mengatakan bahwa homoseksualitas adalah sisi ekstrem dari komplek narsisisme sekunder (secondary narcissism) alias cinta pada diri sendiri. Narsisisme yang ekstrem akan membuat seseorang hanya mendapat kepuasan dengan memilih obyek kecintaan yang menyerupai dirinya. Seorang pria gay akan mencintai sesama pria semata karena secara karakteristik lebih mirip dengan dirinya. Dengan kata lain, yang dicintainya sesungguhnya bukan pasangannya, melainkan bayangan dirinya yang melekat pada pasangannya itu.

Akan lebih meriah kalau Erich Fromm ditarik masuk ke dalam lingkaran diskusi bunuh diri Mishima. Fromm (yang membuat kombinasi unik antara pandangan determinasi biologis Freud dengan determinasi sosial Marx atas individu) berpendapat bahwa kebebasan (freedom) adalah karakteristik sentral semua makhluk hidup. Paradoks yang umum terjadi pada manusia, kebebasan sulit diperoleh karena karena manusia cenderung untuk menghindarinya (Escape from freedom; lari dari kebebasan). Mengapa? Karena setiap kebebasan yang diperoleh individu harus dibayar dengan tanggung jawab yang berat untuk dilaksanakan. Alternatif pertama untuk lari dari kebebasan adalah dengan meleburkan diri ke dalam otoritarianisme.

Pada otoritarianisme, orang lari dari kebebasan dengan meleburkan diri ke dalam sistem sosial berjenjang. Dalam contoh skala ringan kehidupan sehari-hari, ini terjadi pada mahasiswa pasif yang menelan mentah-mentah semua teori yang diberikan dosennya. Sikap kritis – sebagai refleksi dari kebebasan – hanya akan membuatnya dicemooh sebagai bocah keminter, memaksanya belajar lebih keras untuk mencari referensi bantahan atas teori yang ia ragukan, dan membuatnya berisiko mendapat nilai D atau E pada ujian karena jawabannya kelewat improvisatif dan “tidak sesuai dengan yang diberikan dosen.” Di sisi lain sang dosen yang menempati level lebih tinggi dalam struktur pun lari dari kebebasan intelektualnya sendiri dengan hanya memberikan textbook dan handout yang sama dari tahun ke tahun alih-alih menyegarkan pengetahuan, mengajarkan materi baru atau studi kasus riil yang relevan dengan perkembangan zaman. “Saya tidak ada waktu!” Dus mengelola sebuah kebebasan sungguh bukan pekerjaan gampang sehingga orang lebih suka lari darinya.

Otoritarianisme dalam versi yang ekstrem adalah sado-masokisme. Inilah yang nampaknya terjadi pada Mishima. Erotisme dan darah adalah tema-tema yang melekat erat pada karya-karya Mishima. Kegandrungan berlebihan pada olahraga maskulin kendo, body building, dan hal-hal berbau kemiliteran adalah usahanya melakukan bantahan psikis atas sisi feminin yang tertancap lekat dalam kejiwaannya, yang dalam mekanisme pertahanan ego menurut Freud dinamakan pembentukan reaksi (reaction formation). Ingat bahwa dalam asuhan neneknya hingga usia 12 tahun – periode di mana seorang bocah layaknya ember kosong yang tengah menampung apa saja yang diisikan kepadanya – Mishima dilarang bergaul dengan sesama anak laki-laki sehingga lebih sering bermain boneka bersama sepupu perempuannya. Satu pose imajinatifnya sebagai San Sebastian dengan tangan terikat dan tubuh ditancapi anak panah semakin menguatkan tesis bahwa Mishima memang menikmati posisi sebagai obyek pasif penderitaan dan siksaan (masokis). Di masa kecilnya konon Mishima dapat mengalami orgasme hanya dengan memandangi gambar San Sebastian dalam posisi tersebut.

Atau barangkali semua itu karena faktor kepribadian ganda dalam satu tubuh? Adakah pribadi Kimitake Hiraoka cemburu pada kemasyhuran Yukio Mishima sehingga memutuskan untuk mematikannya saja? Yukio Mishima yang datang begitu saja untuk mengambil alih tubuh dan pikirannya, yang telah mencuri karya-karya besarnya?

Apapun latar belakangnya, Yukio Mishima (atau Kimitake Hiraoka) adalah ‘preparat’ yang menarik dan tak pernah lekang buat studi kejiwaan maupun kesusastraan. Ironi dari kesuksesannya “menghentikan waktu” telah membuat generasi berikutnya (termasuk saya yang lahir satu dasawarsa setelah kematiannya) hanya melihat Mishima dalam citra sebagai sosok muda dan kekar dengan samurai terhunus di tangan dan menikmati kecantikan fisik yang lestari, bukan sosok malaikat yang menjadi renta dan dibusukkan pelan-pelan oleh waktu.

yuukoku051.jpg

Karya-karya tulis terpilih Yukio Mishima

yukio72.jpg

1948 Kamen No Kokuhaku (Confession of a Mask)

1950 Ai no Kawaki (Thirst for Love)

1953 Kinjiki (Forbidden Colors)

1954 Shiosai (The Sound of Waves)

1956 Kinkaku-ji (The Temple of Golden Pavilion)

1959 Kyoko no le (Kyoko’s House)

1960 Utage no Ato (After the Banquet)

1963 Gogo no Eiko (The Sailor Who Fell from Grace with the Sea)

1964 Kinu to Meisatsu (Silk and Insight)

1965 Mikumano Mode (Act of Worship, cerpen)

1965 Sado Kosakhu Fujin (Madame de Sade, drama)

1966 Yukoku (Patriotism, cerpen)

1966 Manatsu no Shi (Death in Midsummer and Other Stories)

1967 Hagakure Nyumon (Way of the Samurai)

1968 Waga Tomo Hittora (My Friend Hitler, drama)
477002903901lzzzzzzz.jpg

1970 Taiyo no Tetsu (Sun and Steel)

1964 – 1970 : Tetralogi Hojo no Umi (The Sea of Fertility):

1968 Haru no Yuki (Spring Snow)

1969 Honba (Runaway Horses)

1970 Akatsuki no Tera (The Temple of Dawn)

1970 Tennin Gosui (The Decay of the Angel)

Referensi:

http://en.wikipedia.org/wiki/Yukio_Mishima

http://www.vill.yamanakako.yamanashi.jp/bungaku/mishima/index-e.html

Stokes, Henry Scott. 1974. The Life and Death of Yukio Mishima. New York: Ballantine Books

ldbooklg.jpg

Baca juga tulisan-tulisan pendukung dan klip menarik ini:

Pencapaian puncak Mishima dalam Kendo (beladiri pedang Jepang)

Esai tentang motif bunuh diri Mishima

Klip singkat wawancara Mishima dalam dokumenter BBC

Artikel tentang ritual bunuh diri Seppuku

Written by jojoba

November 22, 2007 pada 6:20 pm

5 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. thanks for artikel

    atmokanjeng

    November 4, 2009 at 9:09 am

  2. wah..menarik sekali bahasan anda. kebetulan saat ini saya sedang mencari buku biografi yukio mishima. apakah anda punya atau mengetahui info ttg buku tersebut?terima kasih

    yantz

    Mei 12, 2010 at 12:35 pm

  3. Gigi Putih: Bukan Hanya Dengan Ubat Gigi…

    I found your entry interesting thus I’ve added a Trackback to it on my weblog :)…

    Primum, Non Nocere

    Juni 29, 2010 at 7:51 am


Tinggalkan komentar